Rabu, 23 November 2011

Alangkah Lucunya Negeri Ini

Film yang disutradarai oleh aktor kawakan Deddi Mizwar ini di rilis pada bulan april 2010. Film ini sangat menginspirasi dan membuka peluang kajian dan telaah yang luas dan mendalam. Film ini dapat dipandang dari banyak kemungkinan aspek kehidupan seperti ideologi, politik, sosial, budaya, pendidikan, kriminalitas, generasi muda, dan agama. Film ini diselipi banyak cerita tentang fenomena-fenomena aneh nan lucu yang justru telah menjadi kebiasaan rakyat Indonesia. Karena orang-orang kalangan atas yang tak jarang kita paggil dengan sebutan wakil rakyat justru menambah kekayaannya dengan mencuri uang rakyat-rakyatnya. Sementara, orang-orang kalangan bawah seperti kita yang tak sadar bahwa uangnya telah dicuri oleh para petinggi negaranya justru mendatangi peramal gadungan di pasar untuk berkonsultasi tentang keadaan keuangannya. Tak cuma itu saja, masih banyak hal lain yang setelah kita pikir-pikir memang sering terjadi di negara ini dan digambarkan dengan lucu dalam film ini.
Sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia walaupun kita telah berbekalkan ijazah S-1 tentu saja merupakan sebuah ide cerita yang menarik bagi kebanyakan orang. Negara ini memang lucu, pendidikan tinggi seakan bukanlah hal yang paling utama bagi seseorang yang ingin mendapatkan pekerjaan. Bahkan salah seorang pemeran dalam film ini mengatakan bahwa pendidikan itu penting jika ada koneksi. Film ini bermula dari Muluk (Reza Rahadian) seorang sarjana manajemen yang sudah 2 tahun menganggur dan hingga saat ini mecari pekerjaan dan tak kunjung mendapatkannya. Tekanan batin dirasakannya karena tuntutan dari calon mertuanya Haji sarbini (Jaja Miharja) dengan mengancam bahwa calon istrinya Pipit (Ratu Tika Bravani) akan dijodohkan dengan Jupri (Edwin Bejo).
Saat Muluk berkeliling mencari pekerjaan, dia bertemu dengan seorang anak yang mencopet yaitu Komet (angga Putra) yang ternyata memiliki kelompok lain di suatu markas. Mereka masih sangat kecil namun dapat mengambil dompet dari dalam tas pengunjung di pasar dan memindahkannya ke tangan anggota kelompok mencuri mereka yang lain dengan sangat lihai dan hampir tidak terlihat sama sekali. Hal tersebut menarik perhatian pengangguran yang padahal seorang sarjana ini untuk mengubah kehidupan para pencopet cilik itu dengan mengelola uang hasil mencopet mereka sesuai dengan ilmu yang didapatkannya di bangku kuliah. Dia berkenalan dengan anggota-anggota lainnya dan 3 kelompok diketuai oleh Glen (Moh. Irfan Siagian), Ribut (sakurta Ginting dan Komet sendiri. Disini Muluk berinisiatif untuk sedikit menyelipkan mereka dengan pendidikan. Muluk dan para pencopet itu melakukan perjanjian dengan memberikan 10% uangnya kepada muluk dan Muluk mengajarkan ilmu manajemen untuk mengatur keuangan. Selain itu juga Muluk mengambil sedikit kesempatan untuk mengajarkan sedikit agama dan kewarganegaraan dibantu oleh Pipit. Sangat menggugah hati ketika melihat bagaimana Muluk (Reza Rahadian) dan kawan-kawannya bisa mengubah para pencopet cilik untuk tidak lagi mencopet dan beralih usaha yang halal dengan cara yang revolusioner tetapi yang tidak kalah serunya adalah detail-detail minor seperti celetukan para bocah pencopet atau atmosfir sekitarnya . Sekali lagi gambaran buruk bangsa Indonesia yang sering kurang diperhatikan oleh diri kita sendiri diangkat dalam film ini. Tentang anak-anak jalanan yang seharusnya datang ke sekolah setiap pagi dengan seragam putih birunya untuk menuntut ilmu bukan menggunakan seragam putih biru untuk naik bus kota lalu mencopet dompet ibu-ibu yang duduk di bangku depan mereka.
Di sisi lain ayah Muluk yang bernama Pak Makbul (Dedi Mizwar) berdebat mengenai pentingnya pendidikan di Indonesia ini dengan calon besannya Haji Sarbini. Meskipun mencoba dilerai oleh Pak Rahmat (Slamet Raharjo) seorang tetua agama di daerah itu. Haji sarbini menganggap bahwa pendidikan bukan segala-galanya karena banyak orang yang kehidupannya mapan tanpa mengenyam pendidikan terlebih dahulu dan ia juga mencontohkan calon menantunya, Muluk yang hingga saat ini tak kunjung mendapatkan pekerjaan yang tetap. Perdebatan ini menimbulkan keinginan mereka untuk mencari tahu kegiatan anak-anaknya sehari hari. Disinilah awal konflik itu terjadi.
Aura kemiskinan, pengangguran, dan pencarian jalan pintas atau apatis juga hadir. Misalnya, Syamsul (Asrul Dahlan) yang hobi bermain gaple di pos ronda. Atau Pipit yang senang mengikuti kuis di televisi. Atau, sang ibu (Rina Hasyim) yang hanya duduk diam dirumah ditemani buku Teka Teki Silang (TTS). Selain itu juga cerita tentang Jupri yang menjadi calon anggota DPR yang di lecehkan masyarakat saat membagikan kaos kampanye. Konflik mulai memuncak ketika Pak Makbul, haji sarbini dan Pak Rahmat bersikeras untuk mencari dan mengunjungi tempat Pipit dan Muluk bekerja. Mereka sangat terkejut ketika mengetahui bahwa mereka bekerja untuk pencopet. Mereka bahkan beranggapan bahwa uang yang mereka peroleh adalah uang haram sehingga mereka memutuskan untuk berhenti mengajar anak-anak itu lagi. Disinilah makna tentang permasalahan agama juga nampak. Sangat lengkap dan melingkupi semua aspek permasalahan kehidupan di Indonesia ini.
Selain itu di akhir film juga muncul sebuah perkataan “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” hal itu sesuai dengan pasal 34 UUD 1945 tapi buktinya mereka mencari cara sendiri untuk bertahan hidup dan memilih mencopet sebagai jalan keluarnya. Mereka tak peduli hal itu benar atau salah karena mereka tak pernah diajari untuk membedakannya. Di film ini, mereka bahkan digambarkan dengan tidak bisa menulis, membaca, dan berhitung. Miris memang, mereka hanya bisa mempedulikan bagaimana cara mendapatkan uang untuk makan hari ini. Dari fakta itu tentu sudah terlihat tidak adanya penerapan dari UUD 1945 yang katanya hukum dasar negara kita. Mungkin karena tak banyak orang yang hafal isi pasal-pasalnya, atau mungkin karena banyak pelajar yang tidur ketika mendapatkan pelajaran tentangnya.
            Sang sutradara sepertinya sangat berhasil menyentil perasaan penontonnya tentang kondisi Indonesia sekarang ini yang semakin memburuk. Namun kritik paling pedas ada dalam adegan di depan gedung DPR saat Muluk mengatakan bahwa di dalam gedung itu tidak boleh mencopet tapi tiba-tiba salah satu dari pencopet cilik itu bilang, “Tapi kalau korupsi nggak apa-apa kan?” dan semuanya tiba-tiba diam. Negara yang sangat kita bela ini memang lucu. Orang yang tidak punya uang mencopet dompet di pasar atau mall, namun orang yang sudah punya uang banyak tak mau kalah dan tetap mencopet uang, bukan dari dompet namun dari brankas. Film yang padat berisi ini sangat direkomendasikan untuk menggugah para pemimpin rakyat dan para pejabat untuk minimal merubah perilaku dan kinerja mereka dari sebuah karya mewah ini sehingga negeri kita menjadi negeri yang damai, aman, jujur, dan sejahtera.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More