Rabu, 23 November 2011

saat kata sapaan dipermasalahkan di jejaring sosial

Menjawab mengenai riweh-riwehnya yang ada di Twitter kampus saya, jadi saya putuskan untuk post di blog aja. kepengen sih komentar, Atau debat sekalian. But it’s not even a huge problem to solve or thing to talk about. And my time is just too precious to debate ebout this. Jadi gini, yang belom tau. Jadi suatu hari twitter kampus saya (yang sebenernya saya ragu ini siapa admin atau orang dibalik tweet yang ter-post di akun tersebut) bilang kalo anak-anak ITS itu udah kehilangan jati diri gara-gara suka pake gue-elo sebagai bahasa percakapan di kampus atau dimana lah terserah mereka. Nah, karena gue-elo itu bahasa Betawi yang suka dipakai sebagai bahasa percakapan sehari-hari oleh orang Jakarta, langsung nyamber dong anak-anak Jakarta. Termasuk saya.
Awalnya saya nangkep bahwa orang Jakarta rada ga pantes untuk ngomong gue-elo di kampus. Ngga tau kenapa, mungkin terdengar kasar, mungkin. Atau mungkin karena ini bukan tempatnya. Kayak orang Jawa ngomong aku kamu di Jakarta. Tapi saya dengernya biasa aja deh kalo ada yang ngomong begitu. I mean, why do we even bother? Ini kan cuman masalah bahasa. Kalo informasi masih bisa tersampaikan dengan baik, ya kenapa ngga? Kenapa mempermasalahkan? Dan curcol dikit, ngubah logat atau kebiasaan berbicara itu ngga semudah makan kerupuk. Ya namanya juga udah bertahun-tahun di tempat X, terus langsung disuruh bercakap dengan menggunakan bahasa Y. Walaupun sama-sama bahasa Indonesia, tetap aja berbeda. And then again, yang penting informasinya bisa tersampaikan dengan baik, kan? Kalo kata Alm. Gusdur sih, “Gitu aja kok repot” :))
Balik lagi ke Twitternya kampus saya. Yang dipermasalahkan adalah hilangnya jati diri Arek Suroboyo dengan bercakap menggunakan gue-elo. I mean, seriously? Jadi dengan begitu, tingkat kesopanan dalam berbicara berkurang? Atau budaya Surabaya takut tergeser dengan budaya Betawi? Dan saya bingung aja gitu, kenapa harus takut. I mean, it’s okay sih kalo mau mempertahankan sebuah budaya. Keep talking with “aku-kamu” in any kind of condition.
Dan oke deh kalo misalnya gue-elo atau bahasa lainnya dianggap buruk, atau bahkan berbicara bahasa inggris pun dianggap akan menghilangkan jati diri. Tapi....  ini kan masih Bahasa Indonesia. Yang kayaknya sebagian besar ngerti arti harfiah dari gue-elo jadi kemungkinan untuk mis-interpretasi itu akan menjadi kecil.
Jawaban saya akan hal ini sudah dijelaskan di atas kalo misalnya selama sebuah informasi itu bisa tersampaikan dengan baik, kenapa dipermasalahkan? Kecuali ya ngomong gue elo ke dosen. Ya kali deh gue-elo harus dipake di semua tempat dan waktu. Ngomong aku kamu ke dosen aja menurut saya ga sopan, sama aja kan kayak gue elo. Dan sebenernya saya juga gak bermaksud mempengaruhi teman-teman untuk bercakap menggunakan gue-elo. kalo dipikir-pikir juga sebagian besar anak Jakarta yang kuliah di sini udah mencoba untuk menyesuaikan diri untuk bercakap menggunakan aku-kamu. dan darimana asalnya kata gue-elo yang menginvasi penduduk kampus, penting ngga sih buat diselidiki? Nggak deh perasaan. jaman sekarang ada televisi, BBM, Twitter, atau berbagai sosmed lainnya. gak menutup kemungkinan kan kalo media-media tersebut menginvasi kalimat sehari-hari menjadi gue elo.  Soal bagaimana kita menggunakan kata-kata itu, ya balik lagi ke individu masing-masing. dan alangkah baiknya jika kita menghargai perbedaan. mungkin, dia merasa nyaman ketika menggunakan gue elo, padahal biasanya pake aku kamu. so, let's just agree to disagree.
Dan lagian ini kan kampus nasional ya. Yang kayaknya sih dari Sabang-Merauke ada tumplek jadi satu di ITS. Walaupun sebagian besar berdomisili Jawa Timur, tapi apa salahnya sih ber-Bhineka Tunggal Ika di kampus? Toh gue-elo masih Bahasa Indonesia juga kan?

Salam damai semuanya! :)

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More